Cerita kecil anak desa

Website Instan
Lalu Muhd. Jaelani
Lalu Muhd. Jaelani

[Sasak.Org] Sore itu, seperti biasanya anak anak kecil di desa kami, berkumpul di lapangan tengah kampung, yang tak lain adalah tanah kosong milik Pak Kadus. Sebelumnya, tanah kosong ini adalah rumah tua yang  tidak ada penghuninya.  Saat itu, diriku hanya bisa menyaksikan puing puing bekas reruntuhan yang tersisa. Masyarakat disini kemudian meratakannya dan menjadikannya sebagai tempat bermain anak anak desa ini.

Anak anak kecil dengan riangnya bermain dan menghabiskan waktu sore selepas pulang dari sekolah. Ada yang bermain layangan, bermain lompat tali, bermain kejar kejaran dan bermain benteng bentengan. Sementara pemuda desa, terlihat bermain kecepok. Kecepok adalah sebuah permainan yang sangat mirip bulutangkis, ukuran lapangannya sama, aturan mainnya juga sama. Yang membedakan adalah raketnya terbuat dari kayu yang dibuat sedemikian hingga menyerupai raket beneran, lapangannya dari tanah berdebu yang disiram menjelang pertandingan, net-nya terbuat dari rajutan tali rafia bekas.

Sebagai anak desa, rutinitas permainan seperti ini menjadi demikian menarik. Inilah saat saat terindah bagiku untuk bisa merasakan kebebasan bersenang senang. Tak ada rasa jenuh, apalagi stress. Dari sekian banyak permainan seru khas anak desa, bermain layangan menjadi daya tarik tersendiri bagiku. Bisa meraut bambu, menimbangnya dengan benang, menempelkan plastik tipis bekas kresek krupuk atau bungkus tembakau adalah salah satu kegiatan pendahuluan sebelum akhirnya mencoba menerbangkannya. Ya, layanganku terbang mengaduk aduk awan tipis, bergerak lincah kesana kemari. Ini adalah kebanggaan terbesar anak desa ini, bisa menerbangkan layangan hasil kreasi sendiri!

Menginjak tahun tahun terakhir di sekolah dasar, ingin sekali diri ini bisa membuat sesuatu yang lebih dari sekedar layang layang. Entahlah, inspirasi dari bangku SD terasa sangat tak mencukupi. Satu satunya buku paling ilmiah yang ada adalah buku pelajaran IPA, tertutama buku pelengkapnya: LKS. Selalu ada saja yang bisa dipraktekkan di rumah, dari membuat magnet dari kumparan yang dialiri listrik, membuat listrik dari magnet yang digerak gerakkan, membuat penggaris bermedan magnet dengan menggosok gosokkannya dikepala sampai membakar kertas dengan kaca pembesar! khusus kaca pembesar ini, aku beli dengan harga Rp.100 dari seorang kakak kelas. ia merupakan senjata andalanku yang tak pernah mau kulepas walau ditukar dengan satu ikat tebu manis. Ia menjadi demikian berharga, karena aku bisa membakar kertas, sampah daun  dan untung rokok tanpa perlu korek dan mata api. Tentu saja, tetap dengan bantuan sang mentari.

Tapi itu tidak cukup, semangat membara untuk mencoba coba menjadi penemu kecil kecilan rasanya tidak tertahankan. Sampai akhirnya diri ini menemukan hal baru: termenung memandangi bulan purnama di atas langit hitam sana.Suatu saat nanti, ketika penduduk desa ini telah sesak oleh manusia, harus ada diantara kami yang transmigrasi ke bulan itu. Malam malam pertengahan dipertengahan bulan, ketika bulan muncul dengan sempurnanya, menjadi malam yang sangat mengasyikkan. Setiap memandangnya, senyum kecilku selalu tak bisa disembunyikan. Jika tidak ada anak desa ini yang mau tinggal di bulan itu, Aku akan mendaftarkan diri ke kantor desa, menjadi rombongan pertama  para transmigran ke bulan.Betapa dadaku ini selalu berdebar setiap memandangnya, kuingin segera menemukan pengumuman transmigrasi itu secepatnya, di kantor desa!

Taiwan, 21 Nopember 2008

SimpleWordPress

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here