Profil TGH Zainuddin Abdul Madjid, Pahlawan Nasional (Tulisan 1)

Website Instan

TGKH. Zainuddin Abdul Madjid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H, nama kecil beliau adalah Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti nama beliau adalah ayah beliau sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Majid. Nama itu diambil dari nama seorang ulama’ besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlak dan kepribadiannya sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syeikh Muhammad Zainuddin Serawak.

Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai Haji Abdul Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama mereka berdua.

Kata Saqqaf dalam bahasa arab berarti membuat atap atau mengatapi. Kata ini kemudian di Indonesiakan menjaddi Saggaf dan di karenakan berada di daerah Lombok Nusa Tenggar Barat yang masih kental dengan budaya daerahnya sehingga nama tersebut di dialekkan kedalam bahasa daerah yang biasa disebut bahasa sasak menjadi Segep, dan pada masa kecilnya pun beliau kerap dipanggil dengan panggilan Gep.

Disamping itu, terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali, bernama Syeikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syekh Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”.

Dengan adanya keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan gembira karena kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali Allah. Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sya’diyah.

Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu: Siti Syarbini, Siti Cilah,Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah. Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah bundanya memberikan perhatian khusus dan meumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau.

Ketiaka beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut mengantar ke tannah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus Sya’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu’allaMakkah.

Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri sebagaimana yang tertera pada paragfaf di atas dan sejak saat itu nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.

Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan garis keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang.

Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dana da yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah.

Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq Siti Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong. Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, adalah:

Chasanah

Hajjah Siti Fatmah

Hajjah Raihan

Hajjah Siti Jauhariyah

Hajjah Siti Rahmatullah

Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar

Hajjah Adniyah.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada akhirnya beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu:

Hajjah Siti Rauhun daru Ummi Jauhariyah

Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah

Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.

Pendidikan Perjalanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di dalam lingkungan keluarga, yakni dengan belajar mengaji yaitu membaca Al-Qur’an dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Majid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umum yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.

Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas lagi pada beberapa kyai local saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Syarf.

Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik. Yaitu masih menggunakan system halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid masing-masing mebacanya saling bergantian satu persatu.

Pada saat ini system pengajaran seperti ini sering digunakan pada pondok pesantren yang berbasis salafi. Berhubung pada saat itu sangat janrang ditemukan system pengajaran yang bersifat klasikal atau menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di atas bangku dan sang guru mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media pengajaran. Apalagi pada saat itu berbedadengan zaman yang dialami saat ini, yaitu pada saat itu apabila seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu apalagi ilmu agama mesti ke rumah sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk mengajarinya tentang ilmu pengetahuan yang ia miliki.

Namun pada saat ini sangatlah berbeda apabila seorang murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal meminta pada orang tuannya untuk memasukkannya pada pondok pesantren dan kemudian mendalami tentang ilmu agama dan berbagai macamnya didalamnya.

Bagi Tuan Guru Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji dirumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya, mereka diharuskan berkerja disawah tuan guru tersebut.

Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi/gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja disawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya.

Menjelang musim haji pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan di antar langsung oleh kedua orang tuanya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Fishal, H. Ahmad Rifa’I, dan seorang kemenakannya. Bahkan pada saat itu salah seorang gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Beliau belajar di Tanah Suci Makkah selama 12 tahu.Di kota suci Makkah Al-Mukarramah beliau mula-mula belajar di masjidil Haram, ayahnya pun sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi muridnya dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan berperilaku, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akhirat.

Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok untuk mengajari dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan seorang syeikh yang belakangan dikenal dengan Syeikh Marzuki. Dari cara dan metode yang digunakan dalam mengajar Tuan Guru Haji Abdul Majid merasa cocok jika syeikh tersebut menjadi guru bagi anaknya.

Syaikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab. Kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok.

Salah seorang murid Syeik Marzuki yang berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok Timur. H. Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.

Related:Biografi TGKH. Zainuddin Abdul Madjid
Namun pada akhirnya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, merasakan ke tidakcocokan terhadap Syeikh Marzuki karena merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul yang tidak memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan masih awam dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris tersebut, sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar mampu membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut.

Setelah ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti balajar mengaji pada Syeikh Marzuki. Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Makkah karena perang saudara antara faksi Wahabi dengan kekuasaan Syarif Hussein, stabilitas keamanan relative terkendali.

Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seorang yang bernama Haji Mawardi yang berasal dari Jakarta. Dari perkenalan itu beliau diajak untuk ikut belajar di sebuah madrasah legendaries di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah yang pada saat itu di pimpin oleh Syeikh Salim Rahmatullah putra Syeikh Rahmatullah, pendiri Madrasah al-Shaulatiyah.

Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudy Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah banyak mencetak ulama’-ulama’ besar dunia. Di Madrasah al-Shaulatiyah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota Suci Makkah waktu itu. Pada hari pertama beliau masuk di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat.

Di sana juga ia bertemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajar syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.

Sudah menjadi tradisi di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus mengikuti tes untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru tersebut. Demikian juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji terlehih dahulu. Dan secara kebetulan beliau diuji langsung oleh murid al-Shaulatiyah sendiri yaitu Syeikh Salim Rahmatullah bersama dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath. Dan pada akhirnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath menentukan masukdi kelas III. Padahal beliau belum terlalu menguasai ilmu nahwu-syaraf yang diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas II, dengan alasan iingin mendalami mata pelajjaran nahwu-sharaf.

Walaupunpada awalnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian Syeh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah beliau diterima di kelas II.

Di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah Muhammad Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya menguasai ilmu dengan baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada beberapa guru yang lain. Dirumah juga beliau manghabiskan waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam belajar adalah besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab mulai dari setelah shalat tahajjud sampai waktu shalat subuh tiba.

Pernah suatu ketika beliau tertidur pada saat membaca kitab. Padahal di hadapannya terdapat sebuah lampu minyak sebagai alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari surban beliau terlalap api dari lampu minyat tersebut dan terbakar. Mencium bau benda terbakar ibunya pun terbangun. Sementra beliau masih tertidur dengan lelapnaya, kemudian ibunya pun berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut dan terbangun.Kebiasaan beliau membaca dan belajar dalam waktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami gangguan. Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan membaca dan belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.

Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau tergolong murid yang cerdas. Syeikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah al-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang sering kali datang ke madrasah itu.

Pemilik madrasah itu meenganut faham Wahabi. Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pertanyaan penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hokum ziarah kubur, tawasul kepada anbiya’ dan auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.

Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.

Gaya kepemimpinan Selain sebagai pejuang kemerdekaan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai ulama kharismatik yang mencurahkan pemikiran dan perjuangannya untuk kepentingan umat. Rasa hormatnya kepada guru dan kepada orang yang telah berjasa pada dirinya selalu diwujudkan dengan mengabdikan nama-nama gurunya pada lembaga-lembaga yang dibangunnya.

Dalam penampilannya sehari-hari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Tidak merasakan bahwa dirinya sebagai ulama besar. Apalagi jika dibesar-besarkan oleh murid dan masyarakat, dengan tegas melarangnya. Alasannya apabila ada ulama besar berarti ada pula ulama kecil. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan antara orang yang dianggap besar dengan orang yang dianggap kecil. Kesenjangan tersebut dapat menghambat komunikasi antara atasan dengan bawahan dan antara kyai dengan santri. Karena itu, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pernah mempersulit semua santri dan masyarakat yang hendak bertemu.

Sikap low profile tersebut membuat sikap sang kyai ini selalu dekat dengan semua santri, murid dan warga tanpa mengurangi kewibawaan dan kharismanya. Keluhan dan kesulitan santri dan muridnya selalu diperhatikan, didengar, dan dicarikan solusinya.

Sebagai pendidik TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendambakan munculnya generasi baru yang memiliki potensi yang besar untuk menyambung estapet perjuangan beliau dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan. Harapan tersebut sangat besar dan sering sekali disampaikan dalam berbagai kesempatan agar murid dan para santrinya memiliki ilmu pengetahuan lebih tinggi dari dirinya, sepuluh, seratus, bahkan seribu kali lipat dari ilmu yang beliau miliki.TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasa saying kepada semua santri, murid, dan para Pembina pesantren yang mempunyai keikhlasan dalam melanjutkan perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau sering mengatakan bahwa sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan nahdlatul Wathan. Sedang yang paling jahat diantara kamu disisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau sering mengatakan:”Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga Allah tetap mencurahkan keselamatan kepadamu, rahmt, keberkatan, ampunan, dan ridha-Nya. Wahai anak-anakku yang setia dan murid-muridku yang cerdik, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-jahat kamu di sisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan”.

Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersikap siaga, berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan Negara, siscaya kamu dengan kekuasaan Allah SWT, tergolong pejuang agama, orang shaleh dan mukhlish baik pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang lain. Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu sekalian dan semoga Ia menganugrahkan kami, kamu sekalian, dan para simpatisan Nahdlatul Wathan kebahikan-kebajikan dan nikmat tambahan yang tiada taranya.

Adapun dalam setiap gerak dan langkah beliau selalu mencerminkan keteladanan yang baik dan memberi keyakinan terhadap kesucian perjuangan beliau melalui Nahdlatul Wathan sebagai contoh nyata yang patut diteladani oleh para murid-muridnya. Sering kali beliau memberikan apresiasinya terhadap para santri dan para muridnya yang menunjukkan perkembangan positif dalam perjuangan Nahdlatul Wathan, baik melalui sikap, maupun ucapan beliau. Beliau selalu mendo’akan untuk para murid dan santrinya agar menjadi orang yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik pada kedua orang tua serta hormat terhadap guru. Beliau selalu menekankan agar setiap anak senantiasa selalu berbakti terhadap kedua orang tuanya.

SimpleWordPress

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here